Rabu, 08 Februari 2012

cerpen kunang-kunang terakhir


      
    KUNANG-KUNANG TERAKHIR

Malam semakin larut tanpa bulan dan bintang. Angin laut semakin kencang menerpa dan menyapu pasir pantai. Deru gelombang laut seakan berpacu dengan detak jam mengikis waktu.
Lingga berdiri di bibir pantai. Dalam keterpurukan rasa sedih yang mendalam, ia mencoba mengingat suatu malam lain yang terasa begitu  asing dan telah menjadi milik masa lampau.
Lima tahun yang lalu, kala itu di tempat ini juga. Malam yang kelam tanpa bulan dan bintang. Dingin yang menyengat kulit dan terasa menusuk tulang sumsum . Lingga mengumpulkan beberapa ranting kayu yang berserakan  di pantai, dengan niatan dengan ranting itu ia akan membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Jika tidak ada api, Yanti akan terus kedinginan menggigil diterpa angin laut yang semakin kencang.
“ Rantingnya sudah cukup Lingga!” Yanti mengingatkan. Lingga kembali dimana Yanti duduk menekuk lututnya dengan membawa ranting kayu yang telah dikumpulkannya.
“ Lingga, coba kau dengar deburan ombak yang datang berkejaran , irama alam yang tidak pernah membosanlan di telinga kita,” kata Yanti dengan penuh keseriusan mendengar dan menikmati irama ombak yang menderu dari kejauhan dan kemudian mendesah setalah ujungnya terhempas karang.
“ Tanpa api , suara ombak itu kedengaran mengerikan ,” katanya pada Yanti. Lingga mengeluarkan korek api gas yang disimpan di kantong celananya. Sebentar saja api unggun sudah menyala dihadapan mereka, yang cukup menghalau rasa dingin malam itu.
Denting sendok yang beradu dengan piring kedengaran menyusup diantara angin, yang datang dari Warung atau kafe Ibu. Warung milik Ibu Lingga termasuk salah satu warung dari beberapa deretan warung yang berjajar di dekat pantai , yang cukup ramai dikunjungi tamu, baik tamu mancanegara maupun tamu domestik yang ingin menikmati hidangan ikan laut. Yanti sering ikut membantu ibu mengelola warung, meskipun sebenarnya ibu sudah mempekerjakan beberapa orang sebagai pelayan warung. Ibu sudah menganggap Yanti sebagai keluarga sendiri, karena Yanti hidup sebatang kara. Ayah Yanti, seorang nelayan hilang di tengah samudra dalam menjalankan profesinya sebagai nelayan. Sementara ibunya yang tidak kuat menanggung kesedihan menyusul suaminya beberapa bulan kemudian. Jadilah Yanti anak sebatangkara.
“ Warung Ibu ramai pelanggan Lingga, aku kesana membantu ibu. Nanti ibu marah, karena kita tidak membantu “ Yanti mau bangkit .
“ Mana mungkin Ibu marah. Ibu pasti memberikan kita berdua semalaman disini. Bukankah ini malam terakhir kita berkumpul sebelum besok aku berangkat !”
Mendadak Yanti diam terpekur. Perkataanku seolah menegaskan bahwa mulai esok pagi ada yang hilang dari kehidupannya, dan selanjutnya tentulah hari yang berat dilalui karena penuh penantian,  kekasihnya akan pergi jauh, menuntut ilmu di seberang sana, di Jakarta.
Lingga menyadari bahwa keceplosan bicara, yang menyebabkan Yanti semakin sedih dan gundah-gulana. Namun ia berusaha bersikap sewajarnya. Yanti, akhirnya bicara juga.
“ Kira-kira berapa lama kau di Jakarta ?”
“ Ya, kira-kira ,kalau semua berjalan lancar butuh waktu lima tahun untuk menjadi sarjana ,”
Yanti diam membisu. Beribu pertanyaan dan kekawatiran muncul dalam benaknya. .” Akankah Lingga akan kembali?” ataukah ia akan sama seperti ayah yang tidak mungkin  kembali lagi. 
Malam semakin larut . Mereka sibuk dengan fikiran masing-masing. Tiba-tiba seekor kunang-kunang mendekati mereka berdua.
“ Lingga, lihat kunang-kunang itu. Cantik sekali! Tolong tangkapkan untukku !”
Lingga beranjak dari tempat duduknya, dan berlari mengejar kunang-kunang. Seakan tahu ada yang mau menangkap, kunang-kunang itu terbang menjauh. Namun Lingga tidak menyerah begitu saja, ia berusaha untuk menangkapnya. Kemudian ia kembali ke tempat Yanti dan membawa kunang-kunang dalam genggamannya.

Mereka seperti sepakat untuk tidak membicarakan masalah perpisahan. Mereka asyik mengamati kunang-kunang yang terlihat cantik dan indah dengan sinar yang dikeluarkan tubuhnya di kegelapan malam., meskipun sebenarnya dalam pikiran mereka masing-masing berkecamuk pertanyaan dan ketidakpastian tentang masa depan mereka.
“ Lingga,…kata para tetua ,kunang –kunang adalah jelmaan dari kuku –kuku para leluhur yang telah meninggal. Betul tidak ya ?” Yanti memecah kebisuan.
“ Ahh….,itu cuman cerita mitos yang berkembang!”
“ Tapi aku mempercayainya, dan yakin itu benar !” Yanti memotong perkataan Lingga.
“ Dan kunang –kunang ini, sepertinya mau mengabarkan sesuatu pada kita. …., perasaannku tidak enak!” Yanti menambahkan.
“ Jangan terlalu sentimentil begitu. Kunang-kunang ya kunang-kunang. Tidak lebih dari seekor binatang yang mengeluarkan cahaya dari tubuhnya,” Lingga mencoba menghibur.
“ Ini lain Lingga! Firasatku tidak enak. Engkau jangan pergi ke pulau seberang,!”
“ Tidak Yanti ! Keputusanku telah bulat. Dan sebelum aku berhasil memperoleh gelar sarjana ,aku tidak akan kembali,” Kata Lingga sambil memandang lautan lepas. Pandangannya menerawang jauh terbang bersama angan-angannya.
Setelah puas menikmati keindahan kunang-kunang, Yanti meminta Lingga agar melepaskan kunang-kunang untuk menikmati kebebasannya kembali. Kunang-kunang terbang kembali, berputar-butar di kepala mereka seolah mengucapkan terimakasih karena telah membebaskannya. Kemudian kunang-kunang pergi mengikuti arah angin. Mereka terus memandangnya sampai tidak kelihatan dalam kegelapan malam.


-------------


Lima tahun waktu telah berlalu. Kini Lingga masih berdiri di bibir pantai yang itu juga., walau tidak sama seperti dulu. Pasir putih telah bercampur darah dan serpihan tubuh manusia.Tidak ada lagi warung Ibu dan warung yang lainnya, semuanya hancur berubah jadi neraka.
Pada malam bencana itu, warung Ibu tetap ramai seperti hari sebelumnya. Tamu mancanegara dan tamu domestik memenuhi setiap meja yang ada di Warung Ibu. Tiba-tiba terjangan ombak  besar memporak-porandakan warung-warung yang ada berjejer di pinggir pantai. Terjangan ombak itu mengoyak  dan menghancurkan semua penghuninya menjadi serpihan-serpihan kecil tak berbentuk. Tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan dimana-mana .
Semuanya telah pergi bersama terjangan ombak itu. Ibu dan semua karyawannya beserta Yanti yang selalu membantu ibu, telah tiada berubah menjadi gumpalan daging tanpa nyawa.
Seekor kunang-kunang menghampiri Lingga dan hinggap di bahunya.  Kehadirannya mengingatkan kembali secara nyata suasana yang tadinya hanya ada dalam ingatannya. Lingga melihat Yanti duduk menekuk lututnya di atas pasir putih. Wajahnya yang selalu terhias senyum hadir nyata dihadapannya. Terngiang di telinganya dentingan piring beradu dengan sendok yang datang dari warung ibu yang selalu ramai. Dan sekarang seekor kunang-kunang secara nyata ada di bahunya. Apakah ini sama dengan kunang-kunang lima tahun yang lalu. Suasana itu membuatnya semakin sedih dan perih  sebagai kenangan abadi yang menyesak dadanya.
Kemudian kunang-kunang itu pergi berputar-putar kemudian hilang di kegelapan , membawa semua harapan dan cita-citaku yang juga kandas bersama perginya kunang-kunang ,yang bagiku sebagai kunang-kunang yang terakhir.


-------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar