KUNANG-KUNANG TERAKHIR
Malam
semakin larut tanpa bulan dan bintang. Angin laut semakin kencang menerpa dan
menyapu pasir pantai. Deru gelombang laut seakan berpacu dengan detak jam
mengikis waktu.
Lingga berdiri di bibir pantai. Dalam keterpurukan rasa
sedih yang mendalam, ia mencoba mengingat suatu malam lain yang terasa
begitu asing dan telah menjadi milik
masa lampau.
Lima tahun yang lalu, kala itu di tempat ini juga. Malam
yang kelam tanpa bulan dan bintang. Dingin yang menyengat kulit dan terasa
menusuk tulang sumsum . Lingga mengumpulkan beberapa ranting kayu yang
berserakan di pantai, dengan niatan
dengan ranting itu ia akan membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Jika
tidak ada api, Yanti akan terus kedinginan menggigil diterpa angin laut yang
semakin kencang.
“ Rantingnya sudah cukup Lingga!” Yanti mengingatkan.
Lingga kembali dimana Yanti duduk menekuk lututnya dengan membawa ranting kayu
yang telah dikumpulkannya.
“ Lingga, coba kau dengar deburan ombak yang datang
berkejaran , irama alam yang tidak pernah membosanlan di telinga kita,” kata
Yanti dengan penuh keseriusan mendengar dan menikmati irama ombak yang menderu
dari kejauhan dan kemudian mendesah setalah ujungnya terhempas karang.
“ Tanpa api , suara ombak itu kedengaran mengerikan ,”
katanya pada Yanti. Lingga mengeluarkan korek api gas yang disimpan di kantong
celananya. Sebentar saja api unggun sudah menyala dihadapan mereka, yang cukup
menghalau rasa dingin malam itu.
Denting sendok yang beradu dengan piring kedengaran
menyusup diantara angin, yang datang dari Warung atau kafe Ibu. Warung milik
Ibu Lingga termasuk salah satu warung dari beberapa deretan warung yang
berjajar di dekat pantai , yang cukup ramai dikunjungi tamu, baik tamu mancanegara
maupun tamu domestik yang ingin menikmati hidangan ikan laut. Yanti sering ikut
membantu ibu mengelola warung, meskipun sebenarnya ibu sudah mempekerjakan
beberapa orang sebagai pelayan warung. Ibu sudah menganggap Yanti sebagai
keluarga sendiri, karena Yanti hidup sebatang kara. Ayah Yanti, seorang nelayan
hilang di tengah samudra dalam menjalankan profesinya sebagai nelayan.
Sementara ibunya yang tidak kuat menanggung kesedihan menyusul suaminya
beberapa bulan kemudian. Jadilah Yanti anak sebatangkara.
“ Warung Ibu ramai pelanggan Lingga, aku kesana membantu
ibu. Nanti ibu marah, karena kita tidak membantu “ Yanti mau bangkit .
“ Mana mungkin Ibu marah. Ibu pasti memberikan kita
berdua semalaman disini. Bukankah ini malam terakhir kita berkumpul sebelum
besok aku berangkat !”
Mendadak Yanti diam terpekur. Perkataanku seolah
menegaskan bahwa mulai esok pagi ada yang hilang dari kehidupannya, dan
selanjutnya tentulah hari yang berat dilalui karena penuh penantian, kekasihnya akan pergi jauh, menuntut ilmu di
seberang sana, di Jakarta.
Lingga menyadari bahwa keceplosan bicara, yang
menyebabkan Yanti semakin sedih dan gundah-gulana. Namun ia berusaha bersikap
sewajarnya. Yanti, akhirnya bicara juga.
“ Kira-kira berapa lama kau di Jakarta ?”
“ Ya, kira-kira ,kalau semua berjalan lancar butuh waktu
lima tahun untuk menjadi sarjana ,”
Yanti diam membisu. Beribu pertanyaan dan kekawatiran
muncul dalam benaknya. .” Akankah Lingga akan kembali?” ataukah ia akan sama
seperti ayah yang tidak mungkin kembali
lagi.
Malam semakin larut . Mereka sibuk dengan fikiran
masing-masing. Tiba-tiba seekor kunang-kunang mendekati mereka berdua.
“ Lingga, lihat kunang-kunang itu. Cantik sekali! Tolong
tangkapkan untukku !”
Lingga beranjak dari tempat duduknya, dan berlari mengejar
kunang-kunang. Seakan tahu ada yang mau menangkap, kunang-kunang itu terbang
menjauh. Namun Lingga tidak menyerah begitu saja, ia berusaha untuk
menangkapnya. Kemudian ia kembali ke tempat Yanti dan membawa kunang-kunang
dalam genggamannya.
Mereka seperti sepakat untuk tidak membicarakan masalah
perpisahan. Mereka asyik mengamati kunang-kunang yang terlihat cantik dan indah
dengan sinar yang dikeluarkan tubuhnya di kegelapan malam., meskipun sebenarnya
dalam pikiran mereka masing-masing berkecamuk pertanyaan dan ketidakpastian
tentang masa depan mereka.
“ Lingga,…kata para tetua ,kunang –kunang adalah jelmaan
dari kuku –kuku para leluhur yang telah meninggal. Betul tidak ya ?” Yanti
memecah kebisuan.
“ Ahh….,itu cuman cerita mitos yang berkembang!”
“ Tapi aku mempercayainya, dan yakin itu benar !” Yanti
memotong perkataan Lingga.
“ Dan kunang –kunang ini, sepertinya mau mengabarkan
sesuatu pada kita. …., perasaannku tidak enak!” Yanti menambahkan.
“ Jangan terlalu sentimentil begitu. Kunang-kunang ya
kunang-kunang. Tidak lebih dari seekor binatang yang mengeluarkan cahaya dari
tubuhnya,” Lingga mencoba menghibur.
“ Ini lain Lingga! Firasatku tidak enak. Engkau jangan
pergi ke pulau seberang,!”
“ Tidak Yanti ! Keputusanku telah bulat. Dan sebelum aku
berhasil memperoleh gelar sarjana ,aku tidak akan kembali,” Kata Lingga sambil
memandang lautan lepas. Pandangannya menerawang jauh terbang bersama
angan-angannya.
Setelah
puas menikmati keindahan kunang-kunang, Yanti meminta Lingga agar melepaskan
kunang-kunang untuk menikmati kebebasannya kembali. Kunang-kunang terbang
kembali, berputar-butar di kepala mereka seolah mengucapkan terimakasih karena
telah membebaskannya. Kemudian kunang-kunang pergi mengikuti arah angin. Mereka
terus memandangnya sampai tidak kelihatan dalam kegelapan malam.
-------------
Lima tahun
waktu telah berlalu. Kini Lingga masih berdiri di bibir pantai yang itu juga.,
walau tidak sama seperti dulu. Pasir putih telah bercampur darah dan serpihan
tubuh manusia.Tidak ada lagi warung Ibu dan warung yang lainnya, semuanya
hancur berubah jadi neraka.
Pada malam
bencana itu, warung Ibu tetap ramai seperti hari sebelumnya. Tamu mancanegara
dan tamu domestik memenuhi setiap meja yang ada di Warung Ibu. Tiba-tiba
terjangan ombak besar memporak-porandakan
warung-warung yang ada berjejer di pinggir pantai. Terjangan ombak itu
mengoyak dan menghancurkan semua
penghuninya menjadi serpihan-serpihan kecil tak berbentuk. Tubuh-tubuh tak
bernyawa bergelimpangan dimana-mana .
Semuanya
telah pergi bersama terjangan ombak itu. Ibu dan semua karyawannya beserta
Yanti yang selalu membantu ibu, telah tiada berubah menjadi gumpalan daging
tanpa nyawa.
Seekor
kunang-kunang menghampiri Lingga dan hinggap di bahunya. Kehadirannya mengingatkan kembali secara nyata
suasana yang tadinya hanya ada dalam ingatannya. Lingga melihat Yanti duduk
menekuk lututnya di atas pasir putih. Wajahnya yang selalu terhias senyum hadir
nyata dihadapannya. Terngiang di telinganya dentingan piring beradu dengan
sendok yang datang dari warung ibu yang selalu ramai. Dan sekarang seekor
kunang-kunang secara nyata ada di bahunya. Apakah ini sama dengan kunang-kunang
lima tahun yang lalu. Suasana itu membuatnya semakin sedih dan perih sebagai kenangan abadi yang menyesak dadanya.
Kemudian
kunang-kunang itu pergi berputar-putar kemudian hilang di kegelapan , membawa
semua harapan dan cita-citaku yang juga kandas bersama perginya kunang-kunang
,yang bagiku sebagai kunang-kunang yang terakhir.
-------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar