PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG OLEH DESA PEKRAMAN
Penulis : I Nyoman Artayasa.
Arus mudik dan arus balik lebaran sepertinya
kegiatan rutinitas yang selalu berulang setiap tahun. Sepanjang itu juga ,
kegiatan arus balik sering menjadi sorotan semua fihak. Karena urbanisasi bisa
menimbulkan gejolak social dan
pengangguran , peningkatan angka kriminalitas di perkotaan.
Urbanisasi disini diartikan perpindahan
penduduk warga desa ( rural ) yang hendak mengais rejeki di perkotaan ( Urban
). Dan biasanya sehabis mudik, saat balik kembali tak jarang mengajak sanak
family untuk bersaing mengais rejeki di kota, walaupun tanpa memiliki
keterampilan atau keahlian tertentu. Model ini sering juga disebut migrasi
berantai (chain migration). Migrasi ini lebih mengandalkan kekerabatan.
Migrasi berantai ini terjadi ketika salah satu
kerabat yang kebih dulu datang ke kota, lalu pulang/mudik dengan membawa
kesuksesan , sehingga menarik minat para sahabat, sanak family untuk mengikuti
jejaknya dengan mengadu nasib ke kota. Mereka ini biasanya berasal dari
kelompok yang sama dan saling berbagi informasi antara satu dengan yang lain.
Dari segi sosiologi , hal ini berkait dengan
teori peluang . Teori peluang bermakna ,dimana ada peluang disana kemungkinan
muncul tantangan-tantangannya. Factor lain yang mempengaruhi orang bermigrasi
ke kota, adalah berbagai hal perkembangan kota yang mereka tidak temukan di
desa. Seperti peluang kerja yang lebih bagus dan lebih terbuka di kota, serta
berbagai hiburan yang dianggapnya jauh lebih menghibur dari hiburan yang ada di
pedesaan. Kemudahan transportasi juga sangat mempengaruhi besarnya migrasi ke
daerah perkotaan.
Migrasi
penduduk ke perkotaan akan membawa dampak bertambahnya atau melonjaknya jumlah
penduduk di perkotaan. Hal ini akan membawa dampak ikutan yang lebih mengarah
ke dampak negative, seperti : kemacetan lalu lintas, volume sampah juga
bertambah, munculnya pemukiman kumuh, polusi udara semakin meningkat,
pengangguran semakin meningkat, angka krimanalitas juga semakin meningkat. Dan
ujung dari lonjakan penduduk adalah kerusakan lingkungan dengan segala
dampaknya ,seperti menurunnya kualitas pemukiman dan hilangnya fungsi ruang terbuka hijau. Dampak
lonjakan jumlah penduduk di perkotaan bagi lingkungan sebenarnya tidaklah
sederhana, karena semuanya berkait antara kebutuhan manusia akan penggunaan
lahan /lingkungan hidup.
Cara untuk mengantisipasi migrasi ini adalah
antara lain secara nasional pemerintah harus menyiapkan peluang-peluang kerja
di masing-masing pemerintah daerah yang disertai dengan perencanaan
ketenagakerjaan, sehingga kalau didaerahnya sendiri sudah ada peluang kerja
yang menjanjikan,akan mengurangi niat mereka untuk bermigrasi ke daerah
perkotaan lainnya.
Penduduk
pendatang yang berada di bali dan secara khusus di Kota Denpasar, diakui atau
tidak kita sangat ketergantungan dengan mereka. Kita pasti merasakan, saat para
pendatang mudik lebaran, kita kesulitan mencari makanan seperti ayam lalapan,
sate kambing/ayam, es kuwud, karena sector non-formal ini lebih banyak diambil
oleh para penduduk pendatang. Dan seperti kita lihat, pembangunan proyek-proyek
fisik seperti mandeg alias jalan di tempat. Karena apa? Karena semua pekerjaan yang
boleh dibilang kasar ini sebagaian besar mereka yang ngambil. Ini artinya tidak
ada persaingan dalam pekerjaan antara penduduk asli bali dengan pendatang.
Karena masing-masing mengambil porsinya sendiri-sendiri. Mereka masuk ke
peluang kerja yang tidak mau diambil oleh orang bali.
Oleh
karena itu, yang paling penting sekarang adalah mengatur tentang keberadaan
mereka sehingga keberadaan mereka tidak menjadi masalah bagi pembangunan di
bali. Pengaturan tentang pelaksanaan tertib administrasi kependudukan di
Propinsi Bali telah diatur dalam kesepakatan bersama Gubernur dan Bupati/Walikota
se Bali nomor 153 Tahun 2003, dimana mengharuskan penduduk pendatang yang
berasal dari luar bali untuk memiliki Surat Keterangan Penduduk Sementara (KIPS
), dan penduduk dari luar kabupaten tapi masih dalam lingkup propinsi bali
harus mengantongi Surat Tanda Pendaftaran Penduduk Tianggal Sementara( STPPTS).
AWIG-AWIG
DESA PEKRAMAN.
Dalam
Peraturan Daerah Propinsi Bali nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman,
dijelaskan bahwa : Desa Pekraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di
Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan
hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri
serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Keberadaan
penduduk, baik penduduk asli maupun penduduk pendatang telah diatur dalam
bagian kedua pasal 3 tentang pawongan, dalam peraturan daerah ini. Desa
pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan
antara manusia)yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga
di dalamnya mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa
pakraman dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang.
Definisi Penduduk Pendatang yang tertuang
dalam naskah Kesepakatan Bersama
Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 yang
ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini, pengertian penduduk pendatang dinyatakan bahwa:
“Penduduk
pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi Bali untuk tinggal
menetap atau tinggal sementara” Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang
datang ke suatu wilayah desa disebut dengan istilah tamiu.
Dalam Keputusan Pesamuan Majelis Desa
Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang
Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan
bahwa penduduk Bali dikelompokkan menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu
dan mipil atau tercatat sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk
beragama Hindu yang tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa
pakraman), dan tamiu adalah penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman.
Pada intinya konsep yang dianut sampai saat
ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua golongan, yaitu
kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang beragama Hindu dan
non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan hak dan kewajibannya
saja.
Terdapat
dua model pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig.
1.
Dalam awig-awig pengaturan penduduk
pendatang secara umum atau pengaturan pokok-pokoknya saja, sedangkan pengaturan
lebih detil diserahkan kepada pararem. Hal ini dikarenakan pararem mempunyai
sifat yang lebih pleksibel dan dinamis karena pembuatannya yang lebih mudah
sehingga gampang diubah setiap waktu melalui paruman untuk menyesuaikannya
dengan kebutuhan dan perubahan zaman. Dalam pararem inilah dapat diatur lebih
detail mengenai masalah tamiu, prosedur menerima tamiu, tanggung jawab penerima
tamiu, hak dan kewajiban tamiu, dan hal-hal lain yang dianggap perlu .
- Model pengaturan lain adalah pengaturan tamiu secara lebih detil dalam awig-awig, mulai dari pengertiannya sampai pada hak dan kewajibannya.
Variasi ini dimungkinkan karena setiap desa
pakraman berwenang membuat peraturan (awig-awig atau paparem) sesuai dengan
kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Konsep ini lazim disebut konsep desa
mawacara. Terlepas dari variasi-varasi tersebut, secara umum ditemukan suatu
asas yang berlaku universal dalam setiap awig-awig, yaitu adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban sebagai penduduk yang tinggal menetap atau tinggal
sementara dalam suatu wilayah desa pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu
wilayah desa pakraman pada umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam
bahaya (pasayuban sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila
terjadi musibah, seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian,
penganiayaan, dan lain-lain. Sebagai kompensasi atas haknya tersebut,
tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban tertentu yang bentuknya beragam, dapat
berupa sumbangan wajib, sumbangan sukarela (dana punia), dan sebagainya.
Dalam
implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari proses pendaftaran
kedatangan, pengawasan, serta tindakan bagi tamiu apabila melalaikan
kewajibannya atau melanggar awig-awig
desa dilakukan oleh prajuru desa pakraman selaku penyelenggara pemerintahan
desa pakraman.
Di
tingkat banjar prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta pembantu-pembantunya,termasuk
pecalang ( satgas keamanan tradisional masyarakat bali yang mempunyai wewenang
untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah , baik di tingkat banjar pekraman
dan atau wilayah desa pekraman ). Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggungjawab
terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal sementara
diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka mewujudkan
ketertiban dan kemanaan desa .
Dari
uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan desa pakraman mempunyai kewenangan
mengatur masalah penduduk pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang
dalam awig-awig lazim disebut kerama tamiu atau tamiu. Kewenangan desa pakraman
mengatur masalah penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa
pakraman bersumber dari otonomi desa pakraman pengaturan penduduk pendatang
dalam awig-awig, yaitu model pengaturan secara umum dan model pengaturan secara
detil. Terlepas dari variasi model pengaturan yang terjadi, secara umum dalam
awig-awig berlaku asas keseimbangan antara kewajiban dan hak yang diterima oleh
penduduk pendatang. Secara umum dalam awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa
setiap penduduk pendatang yang tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman
mendapatkan pengayoman dari desa pakraman berupa jaminan keamanan, pertolongan
dari segala macam bahaya yang mungkin terjadi selama yang bersangkutan tinggal
diwilayah desa pakraman yang bersangkuitan. Sebagai kompensasi dari hak yang
diterimannya tersebut, penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu
yang jenis dan bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi
demikian dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara,
yang artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi
dan kebutuhannya masing-masing. ( dihimpun dari beberapa sumber )
Penulis
: I Nyoman Artayasa ( Mahasiswa Program Pasca Sarjana Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan (P2WL ) Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar