Rabu, 05 September 2012

pengaturan penduduk pendatang oleh Desa Pekraman


PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG OLEH DESA PEKRAMAN
Penulis : I Nyoman Artayasa.

         Arus mudik dan arus balik lebaran sepertinya kegiatan rutinitas yang selalu berulang setiap tahun. Sepanjang itu juga , kegiatan arus balik sering menjadi sorotan semua fihak. Karena urbanisasi bisa menimbulkan  gejolak social dan pengangguran , peningkatan angka kriminalitas di perkotaan.
 Urbanisasi disini diartikan perpindahan penduduk warga desa ( rural ) yang hendak mengais rejeki di perkotaan ( Urban ). Dan biasanya sehabis mudik, saat balik kembali tak jarang mengajak sanak family untuk bersaing mengais rejeki di kota, walaupun tanpa memiliki keterampilan atau keahlian tertentu. Model ini sering juga disebut migrasi berantai (chain migration). Migrasi ini lebih mengandalkan kekerabatan.
 Migrasi berantai ini terjadi ketika salah satu kerabat yang kebih dulu datang ke kota, lalu pulang/mudik dengan membawa kesuksesan , sehingga menarik minat para sahabat, sanak family untuk mengikuti jejaknya dengan mengadu nasib ke kota. Mereka ini biasanya berasal dari kelompok yang sama dan saling berbagi informasi antara satu dengan yang lain.
  Dari segi sosiologi , hal ini berkait dengan teori peluang . Teori peluang bermakna ,dimana ada peluang disana kemungkinan muncul tantangan-tantangannya. Factor lain yang mempengaruhi orang bermigrasi ke kota, adalah berbagai hal perkembangan kota yang mereka tidak temukan di desa. Seperti peluang kerja yang lebih bagus dan lebih terbuka di kota, serta berbagai hiburan yang dianggapnya jauh lebih menghibur dari hiburan yang ada di pedesaan. Kemudahan transportasi juga sangat mempengaruhi besarnya migrasi ke daerah perkotaan.
Migrasi penduduk ke perkotaan akan membawa dampak bertambahnya atau melonjaknya jumlah penduduk di perkotaan. Hal ini akan membawa dampak ikutan yang lebih mengarah ke dampak negative, seperti : kemacetan lalu lintas, volume sampah juga bertambah, munculnya pemukiman kumuh, polusi udara semakin meningkat, pengangguran semakin meningkat, angka krimanalitas juga semakin meningkat. Dan ujung dari lonjakan penduduk adalah kerusakan lingkungan dengan segala dampaknya ,seperti menurunnya kualitas pemukiman dan  hilangnya fungsi ruang terbuka hijau. Dampak lonjakan jumlah penduduk di perkotaan bagi lingkungan sebenarnya tidaklah sederhana, karena semuanya berkait antara kebutuhan manusia akan penggunaan lahan /lingkungan hidup.
 Cara untuk mengantisipasi migrasi ini adalah antara lain secara nasional pemerintah harus menyiapkan peluang-peluang kerja di masing-masing pemerintah daerah yang disertai dengan perencanaan ketenagakerjaan, sehingga kalau didaerahnya sendiri sudah ada peluang kerja yang menjanjikan,akan mengurangi niat mereka untuk bermigrasi ke daerah perkotaan lainnya.
Penduduk pendatang yang berada di bali dan secara khusus di Kota Denpasar, diakui atau tidak kita sangat ketergantungan dengan mereka. Kita pasti merasakan, saat para pendatang mudik lebaran, kita kesulitan mencari makanan seperti ayam lalapan, sate kambing/ayam, es kuwud, karena sector non-formal ini lebih banyak diambil oleh para penduduk pendatang. Dan seperti kita lihat, pembangunan proyek-proyek fisik seperti mandeg alias jalan di tempat. Karena apa? Karena semua pekerjaan yang boleh dibilang kasar ini sebagaian besar mereka yang ngambil. Ini artinya tidak ada persaingan dalam pekerjaan antara penduduk asli bali dengan pendatang. Karena masing-masing mengambil porsinya sendiri-sendiri. Mereka masuk ke peluang kerja yang tidak mau diambil oleh orang bali.
Oleh karena itu, yang paling penting sekarang adalah mengatur tentang keberadaan mereka sehingga keberadaan mereka tidak menjadi masalah bagi pembangunan di bali. Pengaturan tentang pelaksanaan tertib administrasi kependudukan di Propinsi Bali telah diatur dalam kesepakatan bersama Gubernur dan Bupati/Walikota se Bali nomor 153 Tahun 2003, dimana mengharuskan penduduk pendatang yang berasal dari luar bali untuk memiliki Surat Keterangan Penduduk Sementara (KIPS ), dan penduduk dari luar kabupaten tapi masih dalam lingkup propinsi bali harus mengantongi Surat Tanda Pendaftaran Penduduk Tianggal Sementara( STPPTS).
AWIG-AWIG DESA PEKRAMAN.
Dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman, dijelaskan bahwa : Desa Pekraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Keberadaan penduduk, baik penduduk asli maupun penduduk pendatang telah diatur dalam bagian kedua pasal 3 tentang pawongan, dalam peraturan daerah ini. Desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah-masalah pawongan (hubungan antara manusia)yang ada di dalam wilayah desa pakraman, sehingga termasuk juga di dalamnya mengatur masalah kependudukan. Penduduk dalam suatu wilayah desa pakraman dapat meliputi penduduk asli (wed) maupun penduduk pendatang.
        Definisi Penduduk Pendatang yang tertuang dalam naskah  Kesepakatan Bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Februari 2003 ini,  pengertian penduduk pendatang dinyatakan bahwa: “Penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Propinsi Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara” Dalam bahasa Bali, setiap penduduk yang datang ke suatu wilayah desa disebut dengan istilah tamiu.
        Dalam Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama MDP Bali tertanggal 3 maret 2006, dinyatakan bahwa penduduk Bali dikelompokkan menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Pada intinya  konsep yang dianut sampai saat ini adalah penggolongan penduduk desa pakraman hanya dalam dua golongan, yaitu kerama desa dan tamiu, sedangkan pembedaan tamiu yang beragama Hindu dan non-Hindu lebih berkaitan pada penegasan pada perbedaan hak dan kewajibannya saja.
Terdapat dua model pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig.
1.         Dalam awig-awig pengaturan penduduk pendatang secara umum atau pengaturan pokok-pokoknya saja, sedangkan pengaturan lebih detil diserahkan kepada pararem. Hal ini dikarenakan pararem mempunyai sifat yang lebih pleksibel dan dinamis karena pembuatannya yang lebih mudah sehingga gampang diubah setiap waktu melalui paruman untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan dan perubahan zaman. Dalam pararem inilah dapat diatur lebih detail mengenai masalah tamiu, prosedur menerima tamiu, tanggung jawab penerima tamiu, hak dan kewajiban tamiu, dan hal-hal lain yang dianggap perlu .
  1. Model pengaturan lain adalah pengaturan tamiu secara lebih detil dalam awig-awig, mulai dari pengertiannya sampai pada hak dan kewajibannya.
   Variasi ini dimungkinkan karena setiap desa pakraman berwenang membuat peraturan (awig-awig atau paparem) sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Konsep ini lazim disebut konsep desa mawacara. Terlepas dari variasi-varasi tersebut, secara umum ditemukan suatu asas yang berlaku universal dalam setiap awig-awig, yaitu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai penduduk yang tinggal menetap atau tinggal sementara dalam suatu wilayah desa pakraman. Hak tamiu yang berdiam dalam suatu wilayah desa pakraman pada umumnya adalah berupa pengayoman dari segala macam bahaya (pasayuban sakala, pasayuban kapancabayan), seperti pertolongan bila terjadi musibah, seperti hanyut karena banjir, kebakaran, pencurian, penganiayaan, dan lain-lain. Sebagai kompensasi atas haknya tersebut, tamiu dikenakan kewajiban-kewajiban tertentu yang bentuknya beragam, dapat berupa sumbangan wajib, sumbangan sukarela (dana punia), dan sebagainya.
Dalam implementasinya, penanganan penduduk pendatang mulai dari proses pendaftaran kedatangan, pengawasan, serta tindakan bagi tamiu apabila melalaikan kewajibannya  atau melanggar awig-awig desa dilakukan oleh prajuru desa pakraman selaku penyelenggara pemerintahan desa pakraman.
Di tingkat banjar prajuru desa dilaksanakan oleh Kelihan Banjar Adat beserta pembantu-pembantunya,termasuk pecalang ( satgas keamanan tradisional masyarakat bali yang mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah , baik di tingkat banjar pekraman dan atau wilayah desa pekraman ). Prajuru desa pakraman inilah yang bertanggungjawab terhadap keberadaan penduduk pendatang yang tinggal menetap atau tinggal sementara diwilayahnya, sebagai wujud tanggung jawabnya dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kemanaan desa .
Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan desa pakraman mempunyai kewenangan mengatur masalah penduduk pendatang melalui awig-awignya. Penduduk pendatang dalam awig-awig lazim disebut kerama tamiu atau tamiu. Kewenangan desa pakraman mengatur masalah penduduk pendatang yang ada atau datang di suatu wilayah desa pakraman bersumber dari otonomi desa pakraman pengaturan penduduk pendatang dalam awig-awig, yaitu model pengaturan secara umum dan model pengaturan secara detil. Terlepas dari variasi model pengaturan yang terjadi, secara umum dalam awig-awig berlaku asas keseimbangan antara kewajiban dan hak yang diterima oleh penduduk pendatang. Secara umum dalam awig-awig (dan atau pararem) diatur bahwa setiap penduduk pendatang yang tinggal dalam suatu wilayah desa pakraman mendapatkan pengayoman dari desa pakraman berupa jaminan keamanan, pertolongan dari segala macam bahaya yang mungkin terjadi selama yang bersangkutan tinggal diwilayah desa pakraman yang bersangkuitan. Sebagai kompensasi dari hak yang diterimannya tersebut, penduduk pendatang dikenai kewajiban-kewajiban tertentu yang jenis dan bentuknya bervariasi antara masing-masing desa pakraman. Variasi demikian dimungkinkan karena dalam desa pakraman berlaku konsep desa mawacara, yang artinya desa pakraman berwenang membuat peraturan sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing. ( dihimpun dari beberapa sumber  )


Penulis : I Nyoman Artayasa ( Mahasiswa Program Pasca Sarjana Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan (P2WL ) Universitas Mahasaraswati Denpasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar